Selasa, 09 April 2013

Bapaku hebat


“Engkaulah nafasku.. yang menjaga di dalam hidupku..
Kau ajarkan aku menjadi yang terbaik..
Kau tak pernah lelah,. Sebagai penopang dalam hidupku..
Kau berikan aku semua yan terindah.. “

Itu adalah sepenggal lirik lagu Ayah dari Seventeen..

Beberapa hari ini, entah mengapa aku begitu teringat bapa, hingga air mata ini mengalir dengan derasnya, sulit aku bendung..

Apa yang diberikan bapa terhadapku jauh lebih banyak dari sepenggal lirik itu..

Masih teringat cerita mamah, sewaktu aku masih berada di bangku SD kelas 1, bapa sering mengantarkan aku sekolah dengan menggendongku, hingga pada suatu hari bapa sempat menangis karna ketika aku minta dibelikan jajanan, namun bapa tidak mampu untuk membelikannya karna ketiadaan uang..
Aku terlahir dan besar di keluarga yang sederhana. Mamah sebagai ibu rumah tangga dan bapa yang berprofesi sebagai supir. Profesi sebagai seorang supir sudah dilakukan bapa sejak beliau masih muda. Mulai dari supir angkot hingga akhirnya sekarang menjadi supir pribadi Mayor jendral namun sudah Alm 2 th yang lalu. Karena dedikasi bapa terhadap keluarga tempat dimana bapa bekerja, bapa tetap dipekerjakan untuk tetap menjadi supir bagi ibu dan anggota keluarga yang lain. Aku tidak pernah merasa malu dengan profesi bapa, aku malah sangat bangga. Meski hanya seorang supir pribadi, namun bapa dapat membuatkan rumah untuk kami berteduh, menyekolahkan aku dan aas hingga ke jenjang kuliah.
Tadinya banyak yang mencemooh, dengan aku yang disekolahkan hingga ke jenjang kuliah. Banyak tetangga yang seolah mencibir, “hebat ya anak supir aja bisa lanjutin kuliah”. Namun semua itu slalu coba aku abaikan. Memang kenapa dengan anak supir yang ingin kuliah?. Bukankah setiap orang berhak untuk mewujudkan apa yang ia inginkan. Mamah dan bapa berharap, kelak aku bisa menjadi orang yang sukses dan terpelajar. Mereka tidak ingin aku dan aas menjadi seperti mereka yang tidak tahu apa-apa karena hanya mengecam study hingga ke jenjang sekolah dasar saja..
Bapa slalu mengatakan kalau aku harus jadi orang yang kuat dan mandiri, tidak boleh merepotkan orang lain. Itu juga karena aku adalah anak pertama. Meskipun aku seorang wanita, tetap saja anak pertama merupakan tulang punggung keluarga. Dan tanggunjawab itu kini semakin dekat. Barusan mamah menelpon, disela obrolan kami, mamah bercerita bahwa katanya bapa merasa badannya sungguh lelah. Di usianya yang semakin menua, beliau tidak bisa lagi dibawa beraktifitas terlalu berat dan dalam jangka waktu yang lama.. Namun bapa adalah tipikal orang yang kuat dan tegar. Tidak seperti aku yang manja dan cengeng, bapa tidak pernah mengatakan jika ia sedang sakit ataupun sedang ada masalah. Pernah suatu hari, ketika bapa berada di tempat kerjanya di Jakarta, bapa mengigau, mungkin karna demam. Dan bahkan tidak mengatakan kepada ibu kalau ia sedang sakit. Saat itu, aku merasa menjadi anak yang sangat tidak berguna. Aku tidak ada untuk bapa, meskipun hanya untuk sekedar bertanya “bapa, apa yang sakit? Biar ti buatkan bubur dan siapkan obat..”
Sudah hampir 6 tahun, bapa harus rela tinggal berjauhan dengan kami. Profesi bapa yang mengaharuskannya harus siap setiap saat. Badannya yang tak kunjung besar semakin menunjukan betapa tidak terurusnya bapa. Di saat bapa di keluarga lain sudah tersedia masakan yang disediakan ketika mereka pulang kerja, bapa(ku) harus mencari makanan sendiri. Bahkan sempat di bulan puasa, dimana kami sahur dengan banyak menu masakan, bapa hanya sahur dengan semangkuk mie. Namun bapa tidak pernah sedikit pun mengeluh.
Ketika seorang teman mengomelimu karna kau datang terlambat, meski itu hanya 5 menit lamanya. Namun apa yang terjadi jika hal itu terjadi pada bapa. Apa yang dilakukan bapa? Setiap kali aku meminta jemput, bapa selalu datang 15 menit hingga 30 menit lebih awal dariku. Bahkan sempat suatu hari aku terlambat hingga 2 jam lamanya. Namun apa yang bapa katakan? Bapa menyambutku dengan senyum terindahnya. Tidak ada tanda kemarahan, hanya ada tatapan cinta *tulus*. Perlahan ku hampiri bapa dan ku sampaikan “maaf pa, ti datang telat sekali..” bapa hanya tersenyum sambil mengelus-elus kepalaku seraya berkata “tidak apa-apa”.
Sifat bapa yang pekerja keras, membuatnya mau melakukan pekerjaan apapun selama itu “halal” dan mampu dia lakukan, sebesar apapun yang ia dapatkan akan ia kerjakan. Seperti rutinitas yang saat ini selalu bapa lakukan. Sebelum berangkat kerja, bapa menyempatkan diri untuk mampir d rumah salah satu warga yang sejatinya adalah saudara jauh kami. Bapa harus berangkat lebih pagi, hanya untuk mengambil dagangan untuk diantarkan ke Jakarta dengan upah 50 ribu per kolternya. Aaaa betapa aku harus menahan bendungan air mata melihat bapa melakukan ini setiap kali keberangkatannya..
Warna putih di rambut bapa yang semakin banyak, garis lekukan tanda penunaan yang semakin jelas terlihat. Bapaku tetap menatap harinya dengan penuh semangat. Bapa.. tak pernah ku rangkaikan kata indah untukmu yang ku sampaikan secara langsung. Itu semua karna aku tak mampu untuk mengutarakan kepadamu meski dengan rajutan kata sekalipun. Hanya mampu ku berkata “Terima kasih untuk selama ini. Terima kasih untuk kasih tetap dan selalu menyayangiku. Engkau bapa terhebat yang pernah aku temui. Aku sungguh menyayangimu dengan segenap perasaanku”.. Kelak di kehidupan yang kekal, aku berharap Allah tetap mengizinkanku untuk kau tetap sebagai bapaku. J

@Zahraty