“Engkaulah
nafasku.. yang menjaga di dalam hidupku..
Kau
ajarkan aku menjadi yang terbaik..
Kau
tak pernah lelah,. Sebagai penopang dalam hidupku..
Kau
berikan aku semua yan terindah.. “
Itu
adalah sepenggal lirik lagu Ayah dari Seventeen..
Beberapa
hari ini, entah mengapa aku begitu teringat bapa, hingga air mata ini mengalir
dengan derasnya, sulit aku bendung..
Apa
yang diberikan bapa terhadapku jauh lebih banyak dari sepenggal lirik itu..
Masih teringat cerita mamah, sewaktu aku masih berada
di bangku SD kelas 1, bapa sering mengantarkan aku sekolah dengan
menggendongku, hingga pada suatu hari bapa sempat menangis karna ketika aku
minta dibelikan jajanan, namun bapa tidak mampu untuk membelikannya karna
ketiadaan uang..
Aku terlahir dan besar di keluarga yang sederhana.
Mamah sebagai ibu rumah tangga dan bapa yang berprofesi sebagai supir. Profesi
sebagai seorang supir sudah dilakukan bapa sejak beliau masih muda. Mulai dari
supir angkot hingga akhirnya sekarang menjadi supir pribadi Mayor jendral namun
sudah Alm 2 th yang lalu. Karena dedikasi bapa terhadap keluarga tempat dimana
bapa bekerja, bapa tetap dipekerjakan untuk tetap menjadi supir bagi ibu dan
anggota keluarga yang lain. Aku tidak pernah merasa malu dengan profesi bapa,
aku malah sangat bangga. Meski hanya seorang supir pribadi, namun bapa dapat
membuatkan rumah untuk kami berteduh, menyekolahkan aku dan aas hingga ke
jenjang kuliah.
Tadinya banyak yang mencemooh, dengan aku yang disekolahkan
hingga ke jenjang kuliah. Banyak tetangga yang seolah mencibir, “hebat ya anak
supir aja bisa lanjutin kuliah”. Namun semua itu slalu coba aku abaikan. Memang
kenapa dengan anak supir yang ingin kuliah?. Bukankah setiap orang berhak untuk
mewujudkan apa yang ia inginkan. Mamah dan bapa berharap, kelak aku bisa
menjadi orang yang sukses dan terpelajar. Mereka tidak ingin aku dan aas menjadi
seperti mereka yang tidak tahu apa-apa karena hanya mengecam study hingga ke
jenjang sekolah dasar saja..
Bapa slalu mengatakan kalau aku harus jadi orang yang
kuat dan mandiri, tidak boleh merepotkan orang lain. Itu juga karena aku adalah
anak pertama. Meskipun aku seorang wanita, tetap saja anak pertama merupakan
tulang punggung keluarga. Dan tanggunjawab itu kini semakin dekat. Barusan
mamah menelpon, disela obrolan kami, mamah bercerita bahwa katanya bapa merasa
badannya sungguh lelah. Di usianya yang semakin menua, beliau tidak bisa lagi
dibawa beraktifitas terlalu berat dan dalam jangka waktu yang lama.. Namun bapa
adalah tipikal orang yang kuat dan tegar. Tidak seperti aku yang manja dan
cengeng, bapa tidak pernah mengatakan jika ia sedang sakit ataupun sedang ada
masalah. Pernah suatu hari, ketika bapa berada di tempat kerjanya di Jakarta,
bapa mengigau, mungkin karna demam. Dan bahkan tidak mengatakan kepada ibu
kalau ia sedang sakit. Saat itu, aku merasa menjadi anak yang sangat tidak
berguna. Aku tidak ada untuk bapa, meskipun hanya untuk sekedar bertanya “bapa,
apa yang sakit? Biar ti buatkan bubur dan siapkan obat..”
Sudah hampir 6 tahun, bapa harus rela tinggal berjauhan
dengan kami. Profesi bapa yang mengaharuskannya harus siap setiap saat.
Badannya yang tak kunjung besar semakin menunjukan betapa tidak terurusnya
bapa. Di saat bapa di keluarga lain sudah tersedia masakan yang disediakan
ketika mereka pulang kerja, bapa(ku) harus mencari makanan sendiri. Bahkan sempat
di bulan puasa, dimana kami sahur dengan banyak menu masakan, bapa hanya sahur
dengan semangkuk mie. Namun bapa tidak pernah sedikit pun mengeluh.
Ketika seorang teman mengomelimu karna kau datang
terlambat, meski itu hanya 5 menit lamanya. Namun apa yang terjadi jika hal itu
terjadi pada bapa. Apa yang dilakukan bapa? Setiap kali aku meminta jemput,
bapa selalu datang 15 menit hingga 30 menit lebih awal dariku. Bahkan sempat
suatu hari aku terlambat hingga 2 jam lamanya. Namun apa yang bapa katakan? Bapa
menyambutku dengan senyum terindahnya. Tidak ada tanda kemarahan, hanya ada
tatapan cinta *tulus*. Perlahan ku hampiri bapa dan ku sampaikan “maaf pa, ti
datang telat sekali..” bapa hanya tersenyum sambil mengelus-elus kepalaku
seraya berkata “tidak apa-apa”.
Sifat bapa yang pekerja keras, membuatnya mau melakukan
pekerjaan apapun selama itu “halal” dan mampu dia lakukan, sebesar apapun yang
ia dapatkan akan ia kerjakan. Seperti rutinitas yang saat ini selalu bapa
lakukan. Sebelum berangkat kerja, bapa menyempatkan diri untuk mampir d rumah
salah satu warga yang sejatinya adalah saudara jauh kami. Bapa harus berangkat
lebih pagi, hanya untuk mengambil dagangan untuk diantarkan ke Jakarta dengan
upah 50 ribu per kolternya. Aaaa betapa aku harus menahan bendungan air mata
melihat bapa melakukan ini setiap kali keberangkatannya..
Warna putih di rambut bapa yang semakin banyak, garis
lekukan tanda penunaan yang semakin jelas terlihat. Bapaku tetap menatap
harinya dengan penuh semangat. Bapa.. tak pernah ku rangkaikan kata indah
untukmu yang ku sampaikan secara langsung. Itu semua karna aku tak mampu untuk
mengutarakan kepadamu meski dengan rajutan kata sekalipun. Hanya mampu ku
berkata “Terima kasih untuk selama ini. Terima kasih untuk kasih tetap dan
selalu menyayangiku. Engkau bapa terhebat yang pernah aku temui. Aku sungguh
menyayangimu dengan segenap perasaanku”.. Kelak di kehidupan yang kekal, aku
berharap Allah tetap mengizinkanku untuk kau tetap sebagai bapaku. J
@Zahraty